Saturday, July 25, 2009

Buat Lola

Klik alamat di bawah ini, lalu ikuti petunjuknya ya...
OpenOffice
setelah selesai men-download, copy file openoffice yang baru saja di download ke flasdisc.
setelah itu masukkan flasdisc ke komputer, lalu install.
OK

seandainya itu belum bisa juga download lagi ini Ka'
excel viewer 2003
habis itu install lagi ke komputer

jika tetap tidak bisa download lagi ini k'
Jalan terakhir

Tuesday, July 14, 2009

Klas-Klas Masyarakat

Karya : Friedrich Engels


Telah sering dipertanyakan, hingga seberapa jauh berbagai klas masyarakat itu berguna atau bahkan diperlukan? Dan dengan sendirinya jawabannya berbeda untuk setiap kurun sejarah yang dipersoalkan. Tak disangsikan lagi telah pernah ada masa ketika suatu aristokrasi teritorial merupakan suatu unsur masyarakat yang tak terelakan dan diperlukan. Namun itu, adalah dulu sekali, lama berselang. Ada suatu masa ketika suatu klas kapitalis menengah, suatu burjuasi seperti yang orang Perancis menyebutkannya, lahir dengan keharusan yang sama tidak terelakannya, yang berjuang terhadap aristokrasi teritorial itu, yang mematahkan kekuasaan politiknya, dan pada gilirannya menjadi predominan secara ekonomik dan politik. Tetapi, sejak lahirnya klas-klas, tidak pernah ada suatu zaman di mana masyarakat dapat tanpa suatu klas pekerja. Nama, status sosial dari klas itu telah berubah; para hamba-sahaya telah menggantikan para budak, untuk pada gilirannya digantikan oleh orang pekerja bebas-bebas dari perhambaan tetapi juga bebas dari semua pemilikan keduniaan kecuali tenaga kerjanya sendiri. Tetapi teramat jelas: perubahan apapun yang terjadi pada lapisan-lapisan atas masyarakat, yang tidak-memproduksi (non-producing), masyarakat tidak dapat hidup tanpa suatu klas penghasil/produser. Maka klas inilah yang diperlukan dalam semuas keadaan-walaupun waktunya mesti tiba, ketika ia tidak merupakan suatu klas lagi, ketika ia menjadi (merupakan) seluruh masyarakat.
Nah, keharusan apakah yang ada dewasa ini bagi keberadaan setiap dari ketiga klas ini?
Aristokrasi bertanah, boleh dikatakan, secara ekonomik tidaklah berguna di Inggris, sedang di Irlandia dan Skotlandia ia telah menjadi suatu gangguan positif dikarenakan kecenderungan-kecenderungan depopulatifnya. Mengirim orang menyeberangi samudera atau ke dalam kelaparan, dan menggantikan mereka dengan domba atau kijang-itu saja kegunaan yang dapat diklaim oleh para tuan-tanah Irlandia dan Skotlandia. Coba biarkan persaingan makanan sayur-sayuran dan hewani Amerika berkembang lebih maju lagi, dan kaum aristokrasi bertanah Inggris akan melakukan hal yang sama, paling tidak mereka yang mampu berbuat begitu, karena mempunyai estate-estate (tanah berukuran luas) kota sebagai andalannya. Untuk selebihnya, persaingan makanan Amerika akan segera membebaskan kita. Dan ini yang semujur-mujurnya-karena tindak-politik mereka, baik di Majelis Tinggi dan di Majelis Rendah, sungguh suatu gangguan nasional yang paling puncak.
Tetapi, bagaimana dengan klas kapitalis menengah itu, klas yang telah dicerahkan dan liberal, yang membangun imperium kolonial Inggris dan yang memantapkan kemerdekaan Inggris? Klas yang telah mereformasi parlemen di tahun 1831, membatalkan Undang-undang Gandum dan menurunkan pajak demi pajak? Klas yang menciptakan dan masih mengarahkan manufaktur-manufaktur raksasa, angkatan laut perdagangan yang luar-biasa besarnya, dan sistem perkereta-apian Inggris yang terus meluas? Jelaslah klas itu setidak-tidaknya adalah sama diperlukan seperti klas pekerja yang dikendalikan dan dipimpinnya dari kemajuan ke kemajuan.
Memang, fungsi ekonomik klas menengah kapitalis itu adalah menciptakan sistem modern manufaktur dengan tenaga (mesin) uap dan komunikasi bertenaga uap, dan menghancurkan setiap hambatan ekonomik dan politik yang menunda atau menghalangi perkembangan sistem itu. Tidak disangsikan lagi, selama klas menengah kapitalis menjalankan fungsi ini, dalam keadaan-keadaan seperti itu, ia adalah suatu klas yang diperlukan. Tetapi, masihkah keadaannya seperti itu? Adakah ia masih memenuhi fungsi dasar sebagai pengelola dan penuai produksi sosial bagi keuntungan masyarakat seluruhnya? Mari kita periksa.
Kita mulai dengan alat-alat komunikasi. Dan kita dapati telegrafi berada di tangan pemerintah. Perkereta-apian dan sebagian besar kapal-kapal uap samudera dimiliki, bukan oleh kapitalis-kapitalis individual yang mengelola bisnis mereka sendiri, melainkan dimiliki oleh perusahaan-perusahaan perseroan yang bisnisnya dikelola untuk mereka oleh pegawai-pegawai bayaran, oleh pegawai-pegawai yang kedudukannya sepenuh dan selengkapnya adalah sebagai pekerja-pekerja atasan dan yang dibayar lebih baik. Sedangkan yang mengenai para direktur dan pemegang saham, mereka mengetahui bahwa semakin sedikit yang tersebut duluan mencampuri manajemen, dan yang tersebut belakangan dengan supervisi/pemilikan, semakin baiklah itu bagi perseroan tersebut. Suatu pengawasan yang longgar dan cuma resminya saja memang merupakan satu-satunya fungsi yang tersisa bagi para pemilik bisnis itu. Dengan demikian kita melihat bahwa sesungguhnya para pemilik kapitalis perusahaan-perusahaan raksasa ini tidak mempunyai kegiatan lain dalam perusahaan-perusahaan itu kecuali menerima dividen-dividen (pembagian keuntungan) setengah-tahunan. Di sini fungsi sosial para kapitalis telah dialihkan pada pegawai-pegawai yang dibayar dengan upah; sedangkan ia sendiri terus mengantongi, dengan dividen-dividen itu, upah untuk fungsi-fungsi itu, sekalipun ia telah berhenti mengerjakannya.
Tetapi sebuah fungsi lain masih tersisa bagi kaum kapitalis itu, yang telah dipaksa "pensiun" dari manajemen karena luasnya perusahaan-perusahaan raksasa bersangkutan. Dan fungsi ini ialah berspekulasi dengan saham-sahamnya di pasar bursa. Karena tiada sesuatu untuk dikerjakan, maka para "pensiunan" kita itu, atau yang sesungguhnya para kapitalis yang digantikan itu, berjudi sesuka-suka hati mereka di lingkungan gemah-ripah ini. Mereka pergi ke sana dengan niat tegas untuk mengantongi uang yang pura-pura mereka peroleh (sebagai 'upah') sekalipun mereka mengatakan, bahwa asal-muasal segala pemilikan adalah kerja dan simpanan-barangkali memang asal-muasalnya, tetap jelas bukan tujuannya. Betapa munafiknya: dengan kekerasan menutup rumah-rumah judi yang kecil-kecil, sedangkan masyarakat kapitalis kita tidak dapat hidup tanpa sebuah rumah judi raksasa, di mana berjuta-juta demi berjuta-juta diderita sebagai kekalahan dan dimenangkan, menjadi pusat masyarakat itu sendiri! Di sini, sesungguhnya, keberadaan para kapitalis pemegang saham yang "pensiun" itu tidak hanya menjadi berlebihan, melainkan juga suatu gangguan yang tiada terhingga.
Kenyataan yang sebenarnya dalam perkereta-apian dan perkapalan-uap hari demi hari kian menjadi kenyataan pula bagi semua perusahaan manufaktur besar dan perdagangan. "Pengambangan"-mengubah kongsi-kongsi perseorangan besar menjadi perseroan-perseroan terbatas-telah menjadi kenyataan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dari pergudangan-pergudangan kota Manchester hingga bengkel-bengkel dan tambang-tambang batubara di Wales dan di Utara dan pabrik-pabrik Lancashire, segala sesuatu sedang atau telah dibuat mengambang. Di seluruh Oldham nyaris tersisa sebuah pabrik katun yang berada di tangan perseorangan; bahkan pedagang eceran semakin digantikan oleh 'toko-toko koperatif,' yang sebagian terbesarnya hanyalah koperasi dalam nama belaka-tetapi mengenai ini kita tunda untuk lain kali. Demikianlah telah kita melihat bahwa oleh perkembangan sistem produksi kapitalis itu sendiri, kaum kapitalis digantikan secara sama seperti pemintal-tangan. Tetapi dengan perbedaan, bahwa pemintal-tangan ditakdirkan pelan-pelan mati-kelaparan, dan kapitalis yang digantikan itu dengan kematian pelahan-lahan karena terlampau banyak makan. Dalam hal ini mereka umumnya sama saja: kedua-duanya tidak mengetahui harus bagaimana diri mereka itu.
Maka, inilah hasilnya: perkembangan ekonomik masyarakat aktual kita semakin cenderung berkonsentrasi, mengsosialisasikan produksi ke dalam perusahaan-perusahaan raksasa yang tidak dapat lagi dikelola oleh kaum kapitalis tunggal. Segala omong-kosong mengenai "ketajaman melihat", dan keajaiban-keajaiban yang dihasilkannya, berubah menjadi omong-kosong besar segera setelah suatu perusahaan mencapai suatu ukuran tertentu. Bayangkanlah "ketajaman melihat" Perkereta-apian London dan Barat-laut! Tetapi, yang tidak dapat dikerjakan oleh sang majikan/ahli, pekerja biasa, hamba-hamba perusahaan yang berupah, dapat melakukannya dan itupun dengan berhasil.
Demikianlah, kaum kapitalis tidak dapat lagi mengklaim keuntungan-keuntungan/laba sebagai "upah pengawasan/supervisi," karena ia tidak mengsupervisi apapun. Biarlah selalu kita ingat itu, manakala para pembela modal menggembar-gemborkan kalimat itu.

Sunday, April 19, 2009

GKSBS di Yogyakarta?

Apakah benar ada GKSBS di Yogyakarta? Jelas saja jawabannya tidak ada. Yoyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar, menjadikan kota ini sebagai kota tujuan bagi orang-orang yang ingin menuntut ilmu, dan pada kenyataannya tidak sedikit warga GKSBS dan Sumatera bagian selatan khususnya yang juga datang ke Yogyakarta untuk bersekolah atau kuliah, dan sebagaian kecil dari orang-orang tersebut adalah “kami”.

Berita dari mulut ke mulut membawa kami akhirnya bisa bertemu dalam suatu wadah yang bernama Persekutuan Mahasiswa Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, yang kemudian disingkat PM GKSBS. Entah dari berapa tahun yang lalu PM ini sudah terbentuk, namun kini kami ada bersama, bersekutu dan saling membangun dalam kasih.

Senang sekali rasanya, pada saat di perantauan bisa bertemu dengan saudari-saudara yang pada dasarnya memiliki latar belakang yang sama dengan diri kita. Hingga saat ini yang aktif mengikuti PM kurang lebih 15 orang, dan secara resminya di tahun 2009 ini, kami sudah berhasil merencanakan dan menjalakan 3 kali pertemuan yang menyenangkan, tapi jelas bahwa ada juga pertemuan yang kami lakukan secara pribadi satu dengan lainnya yang tidak terdata karena bersifat secret and confidential.

Sekelompok kecil orang dalam sebuah organisasi yang juga kecil dan melakukan kegiatan-kegiatan yang kecil namun memiliki makna yang besar bagi setiap anggotanya, itulah yang selama ini coba kami lakukan. Menurut saya (penulis), sekalipun belum mendapakan “suntikan” baik itu yang berkaitan dengan dana atau yang lainnya dari pihak manapun yang bisa membuat kami menjadi organisasi yang mapan secara financial maupun structural, namun kami bukanlah ada/berada di dalam suatu organisasi yang kecil (atau bahkan hampir “mati”). Bagi saya organisasi ini memang membutuhkan “suntikan” dari pihak lain, namun bukan berarti selama suntikan itu belum ada kita menjadi “ciut”. PM GKSBS adalah organisasi yang besar karena di dalamnya terdapat orang-orang yang besar yang mau dan mampu membuktikan keberadaannya kepada pihak lain, dan juga sehat secara jasmani maupun spiritual.

Dari tulisan ini sekiranya dapat membesarkan hati para Kakak-kakak kami yag juga dulu pernah ikut berperan untuk membesarkan dan meperkenalkan PM ini kepada kami, dan juga sekiranya melalui tulisan ini bisa membuktikan kepada Sinode GKSBS bahwa para Pelayan di GKSBS telah mampu mendidik kami menjadi anak yang mengenal Tuhan Yesus Kristus dan setia kepadaNya.

Tuesday, April 14, 2009

MENELUSURI PERAN YUDAS

Oleh Pdt. Dr. Ioanes Rakhmat

Tulisan ini ingin menelusuri peran yang dimainkan Yudas Iskariot dalam hubungannya dengan penyerahan diri Yesus kepada para pemimpin Yahudi untuk ditangkap dan diadili, dan yang akhirnya dieksekusi oleh penguasa Romawidengan menyalibkannya. Pertama-tama akan ditelusuri bagaimana Injil-injil intrakanonik (= di dalam kanon Perjanjian Baru), Markus, Matius, Lukas (plus Kisah Para Rasul) dan Injil Yohanes, menampilkan figur Yudas. Sesudah itu, akan diangkat gambaran Injil gnostik Injil Yudas (abad kedua) tentang Yudas sendiri dan perannya dalam (aliran Setian) rangka penyerahan diri Yesus kepada para pemuka Yahudi. Akhirnya, akan dicoba dicari dan ditemukan bagaimana sebetulnya diri Yudas itu dalam sejarah. Teks-teks yang diberi garis bawah merupakan bagian-bagian teks yang penting dan karena itu harus diberi perhatian lebih untuk mendapatkan gambaran-gambaran tentang diri Yudas. download artikel selengkapnya

Wednesday, April 8, 2009

The Teology Of The Book Of Jeremiah

Walter Brueggemann

Critical Access to the Book of Jeremiah

The Book of Jeremiah, who was the second of the three major
prophets, is situated betweenIsaiah and Ezekiel and is animmensely
complex book. Indeed, it is so complex that some informed readers
have concluded that it is impossible to read the book as a coherent
whole and have declared it “unreadable.” Although it is possible
to see how different subsections of the book function and
what they mean, it is not readily apparent how the subsections
meaningfully fit together. This is but the first of several critical
issues confronting any interpretation of the theology of the Book of
Jeremiah.

THE SEXUAL LIFE OF JESUS

THE SEXUAL LIFE OF JESUS

The public fascination with Dan Brown’s The Da Vinci Code, a story that begins with the premise that Jesus was married and fathered children, has been a surprise. The Da Vinci Code is roperly classified as fiction, but the beginning premise of this fancifull tale is actually more than plausible. It is in fact the most likely conjecture among the various possibilities regarding Jesus’ marital status. Now here do the biblical texts disclose any clear data on the subject. One of the noncanonical (extrabiblical) texts suggests that Jesus was paired with Mary Magdalene in a special way, a claim that cannot be dismissed out of hand as nonhistorical.

SEXUAL DISARRAY IN THE CHURCHES

The Scandal of Christendom

The Episcopal Diocese of New York has been one of the most liberal Episcopal dioceses of a fairly liberal denomination. For example, it was the first diocese to declare publicly, as early as the 1970s, under the leadership of Bishop Paul Moore, that it would ordain practicing homosexuals. Moore’s action was not tokenism; he ordained homosexuals in large numbers.
Yet by the 1990s, Moore’s diocese had also succumbed to the widespread frenzy over alleged sexual abuse, which was directed almost entirely against heterosexual men. Under pressure from the counterrevolution, in 1994, this diocese put in place a peculiar document, entitled Policies and Procedures for Responding to Sexual Misconduct in the Episcopal Church.
The committee that created this document consisted, curiously, of nine women and fi ve men—this in a diocese where the ministers were mostly men. In the leadership’s attempt to halt what was alleged to be widespread sexual exploitation by male ministers, the committee created a monstrous set of definitions and rules. These rules resulted in conditions that effectively outlawed, as far as the male minister’s behavior was concerned, almost any manifestation of sexuality.